
Tugas Sekolah Banyak Tapi Gak Paham Materi
Tugas Sekolah Banyak Tapi Gak Paham Materi: Apakah Sistem PR Harus Dievaluasi?
Dalam keseharian siswa Indonesia, tugas rumah alias PR (pekerjaan rumah) seakan sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sekolah. Namun, muncul pertanyaan besar: benarkah PR membantu pemahaman siswa atau justru malah membebani tanpa hasil yang berarti? Banyak siswa mengeluh PR menumpuk, tapi mereka tetap nggak paham isi pelajaran. Di sisi lain, guru dan orang tua punya pandangan berbeda soal fungsinya. Jadi, apakah saatnya sistem PR dievaluasi?
PR: Antara Tujuan Ideal dan Realita
Secara teori, PR bertujuan untuk memperkuat pemahaman siswa terhadap materi yang sudah diajarkan di kelas. Guru berharap siswa bisa mengulang pelajaran, melatih keterampilan berpikir mandiri, dan meningkatkan tanggung jawab.
Namun dalam praktiknya, PR sering kali terasa seperti beban administratif yang harus dikerjakan tanpa benar-benar dipahami. Banyak siswa mengaku hanya mengerjakan PR karena takut dihukum atau ingin cepat selesai, bukan karena ingin memahami materi. Ini yang kemudian memunculkan kritik: jika PR tidak efektif, kenapa masih terus diberlakukan dengan sistem yang sama?
Tugas Sekolah Banyak Tapi Gak Paham Materi
Sudut Pandang Siswa: “Kami Butuh Penjelasan, Bukan Beban Tambahan”
Salah satu siswa kelas 9 bernama Adit (14) mengatakan, “Gue kadang dapet PR matematika padahal di kelas belum ngerti. Ya udah, nanya temen atau nyontek jawaban. Gak ngerti juga, yang penting dikumpulin.”
Cerita Adit bukan satu-satunya. Banyak siswa lain mengalami hal serupa, terutama saat PR diberikan tanpa penjelasan memadai di kelas. Akibatnya, proses belajar mandiri yang seharusnya terjadi malah jadi ritual menyelesaikan tugas tanpa makna.
Suara Orang Tua: “Kami Ikut Pusing!”
Orang tua juga merasakan dampaknya. Dina (35), ibu dari dua anak yang masih sekolah, mengaku sering harus turun tangan membantu anaknya menyelesaikan PR. “Kadang PR-nya banyak banget. Anak udah capek pulang sekolah, malah disuruh ngerjain lagi sampe malam. Terus kita jadi guru dadakan deh.”
Tak sedikit orang tua merasa bahwa sistem PR seharusnya disesuaikan dengan usia, kemampuan, dan kondisi psikologis anak. Bukan malah jadi beban yang menggerus waktu bermain dan istirahat.
Pendapat Guru: “PR Masih Perlu, Tapi Harus Kontekstual”
Guru juga punya pendapat sendiri. Pak Rino, guru IPA di salah satu SMP negeri, menyebut bahwa PR penting, tapi perlu disesuaikan konteksnya. “Saya nggak ngasih PR setiap hari. Kalau ada, itu PR yang memang bisa dikerjakan secara mandiri dan tujuannya jelas. PR harus membantu, bukan bikin stres.”
Menurutnya, yang harus diperbaiki bukan soal keberadaan PR, tapi bagaimana dan kapan PR diberikan. Guru perlu merancang tugas yang aplikatif, menarik, dan sesuai dengan kemampuan siswa. Misalnya, dibandingkan 20 soal pilihan ganda, tugas proyek sederhana yang mengaitkan pelajaran dengan kehidupan sehari-hari bisa lebih efektif.
PR vs Waktu Istirahat dan Kesehatan Mental
Hal lain yang juga patut diperhatikan adalah dampak PR terhadap keseimbangan hidup siswa. Dalam banyak kasus, siswa harus belajar di sekolah dari pagi hingga sore, kemudian disusul les tambahan, lalu PR.
Studi psikologi pendidikan menunjukkan bahwa beban tugas berlebihan bisa memicu stres, kecemasan, bahkan gangguan tidur pada anak-anak. Padahal, anak juga butuh waktu bermain, bersosialisasi, dan istirahat agar tumbuh kembang mereka optimal.
Perlukah Sistem PR Dievaluasi?
Melihat fakta-fakta tersebut, sudah saatnya sistem PR dievaluasi secara menyeluruh. Bukan berarti PR vincentpitbulls.com harus dihapus total, tapi metode dan fungsinya perlu disesuaikan dengan zaman dan kondisi siswa saat ini.
Beberapa rekomendasi yang bisa dipertimbangkan antara lain:
Mengurangi kuantitas PR, fokus pada kualitas.
Menyesuaikan PR dengan materi yang benar-benar sudah dipahami siswa di kelas.
Mendorong tugas-tugas berbasis proyek atau pemecahan masalah.
Melibatkan siswa dalam menentukan bentuk PR yang mereka anggap efektif.
Kesimpulan
PR semestinya menjadi alat bantu belajar yang menyenangkan dan relevan. Namun jika hanya menjadi tugas rutin tanpa makna, maka evaluasi mutlak diperlukan. Suara siswa, orang tua, dan guru harus dijadikan dasar untuk merancang ulang sistem yang lebih manusiawi dan efektif.
Dengan menempatkan pemahaman dan kesejahteraan siswa sebagai prioritas, dunia pendidikan bisa menciptakan lingkungan belajar yang lebih sehat, produktif, dan bermakna.